Landasan hukum penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, termasuk di tingkat provinsi, bersumber dari dua pilar utama regulasi pasca-reformasi: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) dan peraturan turunannya yang direformasi signifikan melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021.
UUPR 2007 menetapkan kerangka dasar, hierarki, dan fungsi perencanaan tata ruang, yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Sementara itu, PP Nomor 21 Tahun 2021 memperkenalkan perubahan tata cara dan muatan RTR, terutama dalam konteks percepatan investasi dan integrasi sistem perizinan. Tuntutan ini menghasilkan perubahan fundamental dalam rezim perizinan pemanfaatan ruang.
Kedudukan RTRW Provinsi adalah menjamin keterpaduan pembangunan antar sektor di dalam wilayah provinsi, mewujudkan keserasian pembangunan dengan wilayah sekitarnya, serta memastikan kualitas tata ruang yang konsisten dengan daya dukung lingkungan. Perubahan rezim regulasi ini, terutama setelah hadirnya PP 21/2021, memperlihatkan adanya upaya sentralisasi dan simplifikasi prosedur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat realisasi investasi melalui sistem single reference perizinan, yang dikenal sebagai Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Konsekuensi dari simplifikasi ini adalah tuntutan agar dokumen RTRW Provinsi yang bersifat makro dan strategis, harus mampu menyajikan informasi spasial yang cukup detail dan akurat untuk mendukung sistem digital KKPR. Dengan demikian, sinkronisasi antara kebutuhan investasi dan pelestarian daya dukung lingkungan harus menjadi inti penyusunan RTRW Provinsi.

